Label

Sabtu, 17 Maret 2012

Koass itu luar biasa!! :)


Koass. Mungkin kata itu tidak asing lagi untuk orang-orang yang memiliki impian untuk menjadi tenaga ahli berjas putih, seorang dokter. Untuk para mahasiswa kedokteran, menjadi koass adalah sebuah penantian panjang penuh perjuangan. Menjadi koass berarti selangkah lebih dekat untuk mendapat gelar dokter. Tapi kenyataannya “selangkah” terakhir itu jauh dari kata mudah. Menurut saya, “selangkah” terakhir itu adalah ajang pengujian aspek akademis, mental, fisik, dan kesungguhan, di mana semua aspek itu diuji habis-habisan secara sporadis.
Saya baru mahasiswa tingkat satu. Rasanya masih cukup panjang perjalanan saya hingga akhirnya sampai menjadi seorang dokter muda (koass). Sampai saat ini, dunia koass baru hidup dalam imajinasi bebas yang muncul dari cerita berbagai versi orang-orang di sekitar saya. Sampai akhirnya saya bisa (seolah-olah) merasakan sendiri atmosfer menjadi seorang dokter muda.
Seminggu yang lalu saya dan rekan-rekan dari Senat Mahasiswa FK Unpad seksi Pendidikan dan Profesi (Pendpro) mendapat kesempatan yang sangat luar biasanya untuk mengikuti kegiatan Forum Koass Angkatan 2008. Tidak tanggung-tanggung, ternyata kami tidak hanya diperbolehkan untuk mengikuti acara (semacam) seminar pra-koass saja, tapi kami juga ikut ke kelompok fasil kakak-kakak 2008 untuk touring Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)  sesuai dengan stase masing-masing.
Saya termasuk orang yang “baru” mendalami dunia kedokteran, tidak seperti beberapa orang yang mungkin sudah bermimpi untuk jadi dokter sejak masih berseragam putih-merah. Dan kalau dalam dunia sihir Harry Potter, saya bisa disebut muggle karena kedua orang tua saya bukan dokter. Hal itu lah yang membuat saya tidak terlalu paham masalah alur keprofesian seorang dokter. Cerita tentang koass pun baru saya dapat saat saya sudah masuk FK. Ternyata menjadi dokter muda butuh pengorbanan hebat. Saat Forum Koass, ditampilkan sebuah video tentang kehidupan seorang dokter muda. Dokter muda itu pada umumnya memulai aktivitas sehari-hari mulai jam 6, bahkan ada stase tertentu yang mulai dari jam 5 pagi. Setelah itu belajar sampai pukul setengah 4 sore. Kegiatannya bisa berupa perceptoran (seperti tutorial), kuliah umum, laporan jaga (bagi stase yang ada tugas jaga), bimbingan residen, visile dan visile besar (mengunjungi pasien-pasien untuk menentukan kondisi pasien). Dan dari jam 4 sore sampai sekitar jam 2 atau 3 subuh adalah tugas untuk jaga. Kalau saya bayangkan, tidur adalah kenikmatan yang luar biasanya saat koass. Biasanya koass hanya bisa tidur setengah sampai satu jam di sela-sela jam jaga. Subhanallah..
Setelah itu kami melanjutkan kegiatan ke dua yaitu touring sesuai dengan stase masing-masing. Kebetulan sekali saya mendapat tugas untuk nyelip di kelompok stase Anak, yang artinya saya akan mendapat banyak sekali penjelasan tentang “Bagaimana koass di bagian Anak”. Dan sedihnya, akang/teteh 2008 dengan sangat gagahnya menggunakan jas koass putih-panjang selutut, sedangkan kami para bebek (panggilan anak-anak Pendpro) yang bagaikan bebek kehilangan induknya memakai jas laboratorium, bahkan jaslab yang saya pakai adalah jaslab pinjaman karena jaslab saya kebetulan sedang dilaundry.
Terlepas dari keterasingan saya sebagai “penyusup legal” di kelompok fasil stase Anak, saya sangat antusias menyimak berbagai penjelasan kakak pembimbing di kelompok saya, Teh Wina 2007.
Pertama, kakak fasilitator menjelaskan persiapan-persiapan sebelum melaksanakan koass di stase anak. Ternyata koass stase anak adalah bagian termenegangkan dan terdisiplin dibandingkan dengan stase lain. Konon katanya, residen dan konsulen di sini terlampau disiplin dan perfeksionis karena kenyataannya anak-anak apalagi neonatus adalah pasien yang sangat rentan dan memerlukan perlakuan super teliti dari seorang dokter. Untuk itulah kedisiplinan dan keterampilan klinis yang (mendekati) sempurna sangat dituntut di sini.
Persipan fisik koass stase anak tidak berbeda jauh dengan barang bawaan saat pulang kampung, satu tas ransel dengan ukuran cukup besar dan satu tas kecil padat-berisi yang akrab dikenal dengan tas ajaib doraemon. Pantas saja disebut ajaib, tas ini memang berisi banyak sekali barang. Ada termometer, penlight, palu refleks, ATK super lengkap bak peralatan tukang foktokopi, shygmo dengan ukuran cuff yang beraneka ragam, bahkan stetoskop pun harus dibedakan antara untuk dewasa, anak, dan neonatus.

Setelah penjelasan persiapan fisik, saatnyaaa…. TOURING! Walaupun sedikit tidak enak hati karena jadi penyusup, tapi saya sangat exited. Jujur, sampai saat itu saya baru dua kali ke RSHS, dan itu pun hanya mengunjungi ruang tertentu saja. Dan saya ingin tahu lebih dalam seluk beluk tempat yang akan jadi tempat belajar dan kerja saya sekitar tiga tahun lagi (aamiin).
Keluar dari ruangan tempat seminar di Gedung Eijkman, kami menuju ke jembatan penyebrangan yang menghubungkan Gedung Eijkman dan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Keberadaan jembatan ini pasti sangat membatu mobilisasi para dokter dan koass yang tidak dipungkiri sering bolak-balik Eicjkman-RSHS. Sampai di RSHS, kami menuju ke Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ternyata tidak sembarang orang bisa mengakses tempat ini. Seorang petugas keamanan selalu siaga di depan pintu IGD dan tanpa kartu sakti mandraguna pak satpam, kami tidak akan pernah bisa masuk ke ruang tersebut.
Akhirnya pintu IGD dibukakan oleh pak satpam dan seketika itu juga atmosfer asing segera menyambut saya. Di dekat pintu ada beberapa orang berpakaian hijau-hijau (seperti gaun operasi) seperti sedang mendapat pengarahan dari seoseorang yang entah siapa. Awalnya saya ragu untuk melewati sekelompok orang berbaju hijau itu, ada rasa segan dan sedikit tidak enak hati, apalagi setelah mendapat cerita kalau tidak sedikit (baca: mayoritas) residen dan konsulen yang “sensitif”. Selain itu bau khas rumah sakit sangat mendominasi. Bau-bauan yang tidak bisa saya identifikasi satu per satu itu berakumulasi jadi aroma yang kurang bersahabat, mungkin karena belum terbiasa. Beberapa pasien pun terlihat sedang berbaring lemah di atas tempat tidur.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju ke ruang persalinan, sayangnya kami tidak masuk ke ruang oka (lapisan pertama ruang operasi). Kemudian turun lagi menuju ke ruang perawatan pasca persalinan. Ternyata, jadi dokter muda itu benar-benar penuh perjuangan. Menurut cerita dari teteh fasil kelompok saya, tugas koass saat ada persalinan itu mulai dari menunggu sampai persalinan selesai, mengantar pasien dari ruang persalinan ke ruang rawat pasca persalinan, dan setelah itu mengembalikan blankar ke ruang persalinan lagi. Ruang persalinan dan ruang rawat tersebut berada di lantai yang berbeda. Subhanallah..
Satu hal lagi yang pernuh diketahui oleh calon-calon koass. Jadi koass itu tidak boleh menye-menye. Sigap dalam bertindak menjadi hal yang wajib. Pantas saja selama touring, teteh fasil kami berjalan dengan sangat sigap. Untuk seorang koass, apalagi saat berada di stase yang cukup sibuk, waktu beberapa menit pun terasa sangat berharga. Dan dari pengalaman touring saya ini saya mengambil satu kesimpulan: Saat koass harus pakai sepatu yang tidak licin!
Ternyata jadi koass itu sulit, tapi pasti bisa. Karena seorang pemenang itu selalu berkata “Itu SULIT, tapi BISA kita lakukan” bukan seperti seorang pecundang yang berkata “Hal itu BISA dilakukan, tapi SULIT”. Walaupun awalnya saya menyimpan sedikit rasa khawatir saat nantinya akan menjalani dunia koass, tapi bagaimana pun fase-fase itu harus dijalani. Intinya yakinlah bahwa fase berat itu akan menjadi sarana upgrading diri untuk memantaskan diri menjadi seorang dokter yang baik. Luruskan niat, karena dengan niat yang benar dan lurus, semua kesulitan akan terasa hikmahnya.

Teruntuk: para calon dokter hebat J

Kamis, 15 Maret 2012

Kerelawanan (Tugas Essay Vol-D :)) )


” Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain ” (HR. Bukhari).
“Hidup itu bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya, tapi untuk memberi sebanyak-banyaknya.” (Pak Harfan-Laskar Pelangi)
                                                                                                                                                                                         n
Bismillahirrahmanirrahim..
Untuk mendefinisikan kata kerelawanan, saya tidak akan merujuk ke KBBI atau pendeskripsian dengan bahasa yang berat, karena sebenarnya kerelawanan itu simple tapi memiliki makna mendalam.
            Hemat kata, kerelawanan adalah satu cerminan peka dan peduli dalam tingkat yang cukup tinggi terhadap orang lain yang berada dalam kondisi tidak seberuntung kita sekarang. Kerelawanan itu ungkapan ketulusan jiwa dan merupakan setulus-tulusnya pemberian.
            Saya selalu kagum dengan para relawan. Saat turun langsung ke masyarakat, mereka seolah-olah hidup hanya untuk membantu orang lain. Tidak sedikit relawan yang mengorbankan bayak hal besar. Mereka berani untuk keluar dari zona nyamannya karena ketergerakan hati untuk membantu sesama, padahal mereka  bisa memilih untuk diam dan menutup mata untuk pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.
            Memenuhi ketergerakan hati ini lah ternyata yang tidak mudah. Tidak sedikit orang yang mudah tergerakkan hatinya tapi tidak merealisasikan dalam bentuk langkah konkret, apalagi jika langkah konkret itu harus dibayar dengan melepas kenyamanan-kenyamanan yang sudah dimilikinya. Banyak orang merasa iba melihat para korban bencana, tapi tidak memiliki tindakan real untuk membantu. Banyak orang mengutuki pemerintah yang tidak becus mengurusi rakyat, tapi dia tidak bersolusi. Intinya, banyak orang tahu, tapi dia tidak (atau belum) mau.
            Kerelawanan itu seperti kombinasi dari ketulusan hati, kekuatan fisik, kecerdasan pikiran, dan qudwah (keteladanan) yang tinggi. Bicara tentang kerelawanan sebenarnya bicara tentang manfaat seperti makna tersurat dalam hadits di atas. Kerelawanan adalah salah satu cara untuk menjadi individu yang memberi manfaat dalam rangka menjadi sebaik-baiknya manusia.
            Kerelawanan juga erat kaitannya dengan “berbagi”. Dan menurut saya berbagi itu bukan hanya masalah passion, tapi sebuah kewajiban. Karena disadari atau tidak, dalam ketercukupan harta, kesempurnaan fisik, dan pemahaman akan ilmu yang kita miliki sekarang, terkandung tugas mulia untuk membantu dan berbagi. Kalau berdasarkan analogi seorang sufi, Nasrudin Hoja, cara Allah membagikan rezeki kepada umatnya yaitu seperti membagikan permen di mana setiap orang mendapat bagian yang berbeda-beda atau bahkan ada yang tidak mendapat bagian, dan tugas mereka yang mendapat bagian lebih adalah membagikan “kelebihan” permen miliknya kepada yang lain. Seperti itu juga dalam kehidupan, apa-apa yang ada pada diri kita bukan sepenuhnya hak kita, tapi ada juga hak orang lain yang dititipkan melalui kita.
            Intinya kerelawanan adalah hal mulia, sebuah pengorbanan yang lahir dari ketulusan hati dan kepedulian terhadap sesama. Kerelawanan lahir dari orang-orang yang memahami hakikat sejati manusia dan yakin akan janji Allah.
                                                                                                                                                                              l
“Dan Allah akan menolong hambaNya selama hambaNya mau menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)