Apa yang paling dinanti saat tiba
hari lebaran? Jawabannya pasti beragam. Mulai dari ingin mengulang masa-masa
indah Ramadhan, tampil baru dengan baju lebaran, menikmati opor dan ketupat
yang telah dibayangkan hari-hari sebelumnya, atau mencicipi satu per satu kue
lebaran yang berjejer di meja ruang tamu, ruang utama, bahkan yang masih
“bersegel” di dalam lemari harta karun.
Benarkah hanya itu? Ternyata
tidak. Ada hal berharga lainnya yang tak boleh absen dalam sejarah
per-lebaranan. Silaturahim, berkumpul bersama sanak saudara. Jarak bukan jadi
alasan “syar’i” untuk tidak bisa hadir. Istilahnya, lautan pun kan ku sebrangi,
gunung kan ku daki, badai kan ku lalui demi bertemu sanak saudara di kampung
halaman.
Ada rasa sedih saat kita absen
dari pertemuan sakral setahun sekali itu. Semacam melewatkan satu keping kisah
bahagia. Kurang lebih itu lah yang saya rasakan saat ini.
Hari lebaran kali ini sungguh
berbeda. Tidak ada ziarah ke makam aki dan nenek, pun tidak ada bakar-bakar
ikan di halaman rumah bersama aki, oom, dan tante. Sebagai pelampiasan rasa
sedih yang semakin membuncah karena putaran “film” kenangan-kenangan di Tasik
setiap lebaran, akhirnya saya memutuskan untuk ikut ke panti asuhan bersama
tante yang tinggal di Bandung. Semoga tampang lucu nan menggemaskan bocah-bocah
polos itu mampu menghapus atau minimal membuat saya lupa temporer masalah dilema
“tidak mudik” ini.
Sedikit di luar ekspektasi.
Mayoritas adik-adik panti sedang dibawa ke luar, “dipinjam” istilahnya. Dalam interpretasi
sok tahu saya, mungkin ada orang-orang dermawan yang ingin berbagi kebahagiaan
di hari kemenangan ini. Ya, alhasil saya hanya bertemu beberapa dari mereka.
Hal yang cukup mengejutkan yaitu
ketika saya masuk ke sebuah ruangan. Beberapa ranjang tingkat dengan lusinan
boneka di setiap ranjangnya membuat saya tak perlu berpikir lagi untuk membuat
simpulan bahwa ruangan tersebut kamar perempuan. Sayangnya mereka tidak ada di
sana. Jika ada, mungkin suasana kamar tidak akan sesepi ini. Hanya ada boneka-boneka
yang tetap setia tersenyum memandangi dinding kamar yang sepi tak bertuan.
Ternyata tidak hanya ada mereka di sana. Di balik ranjang paling pojok, ada
sesosok adik kecil sedang meringkuk di lantai. Tubuh mungilnya sempurna terhalangi
ranjang kayu. Entah apa yang sedang ia lakukan sendiri di sana.
Namanya Kania, begitu kata salah
satu teteh pengasuh yang mengantar kami ke kamar itu. “Kania, nama yang cantik”, batin saya. Saya dekati ia hingga mulai
terlihat kaki dan badannya. Ia sedang tidur-tiduran di lantai tak beralas apa
pun dengan radio menyala di atas kepalanya. Ketika melihat kami, ia langsung
bangkit dan merangsek naik ke pangkuan tante tanpa sedikit pun berkata-kata.
Seketika itu saya baru sadar bahwa ia bukan anak “biasa”. Kania melihat saya
yang duduk di sebelah tante dengan tatapan dari wajah “khas”nya. Ia meronta dan
mengulurkan kedua tangannya yang lebih terlihat seperti ingin menampar saya.
Saya raih tubuhnya yang sudah tidak kecil lagi, tubuh anak usia sekitar delapan
tahunan. Kania memeluk saya begitu erat, semacam merindukan pelukan dari
orang-orang terkasih. Haru. Hati ini berdesir dibuatnya. Benarkah pelukan itu
begitu mahal bagi Kania di usianya yang masih sangat membutuhkan belaian kasih
sayang? Kania bukan hanya tak tahu siapa ayah-ibunya, pun ia harus menanggung
takdir Allah sebagai penderita Down Syndrome yang membuatnya terlihat berbeda
dengan anak-anak yang lain. Berat memang ujian gadis kecil ini. Mungkin ia
ingin mengadu. Tapi pada siapa? Bahkan “ibunya” harus berbagi cinta dengan
puluhan anak-anak lain. Atau ingin mengeluh. Tapi mungkin untuk apa? Tak ada
yang tahu, mungkin pelukannya sebagai satu-satunya cara untuk mengungkapkan tumpukan
perasaan yang tak tersampaikan, bahkan hanya dengan kata-kata. Sorot matanya
mamancarkan bahagia. Ya, saya lihat itu. Kania bahagia saat ada yang peduli
untuk sekadar mengunjungi atau “memimjamkan” diri untuk rela ia peluk
sepuasnya. Ia pasti mafhum bahwa orang seperti saya hanya akan datang dan
pergi, tapi itu tidak mengurangi bahagianya. Bukan bingkisan, pun bukan sekarung
boneka. Ia hanya butuh hal “ghaib” bernama kasih sayang. Aaah.. Ya Allah..
Bahagia untuknya begitu sederhana. Maka bahagiakan ia dengan kasih sayang tak
terbatas-Mu. Aamiin..
Semacam tamparan bertubi-tubi
untuk diri yang masih jauh dari kata baik ini. Seringkali kita khilaf untuk
saling memberi atau lalai untuk menunaikan kewajiban.
Fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban
Masihkah berani mengeluh karena gagal
mudik dan bertemu keluarga? Padahal kau tahu mungkin liburan depan kau masih
sempat mengunjunginya? Sedangkan mereka, adik-adik di panti, bahkan mereka tak
tahu siapa yang harus dikunjungi? Satu tamparan untuk masih mengeluh!
Masih bisa kesal kepada ayah-ibu
karena proposal pengadaan gadget terbaru atau koleksi sepatu futsal berlogo
tiga garis belum juga mendapat isyarat lampu hijau? Sedangkan mereka, ayah-ibu
pun tak tahu di mana. Pintanya sederhana, ingin bertemu ayah dan ibu. Dua
tamparan untuk hati ayah-ibu yang sering dikecewakan!
Atau masih tega memandang sebelah
mata dan merendahkan mereka? Padahal mereka dan kau sendiri tak pernah membuat
pinta ingin dilahirkan di keluarga mana dan dari ayah-ibu yang mana. Haruskah
ada sombong hingga ia menutupi rasa syukurmu? Tiga tamparan untuk setitik rasa
sombong yang belum juga angkat kaki dari hati!
Ya, Allah mempertemukan saya
dengan Kania sebagai sarana reminder
untuk selalu bersabar dan bersyukur. Pantas saja manusia tidak dibiarkan hidup
sendiri dan diciptakan dengan takdir yang sama. Karena ia ada untuk
mengingatkan yang lain. Hal-hal berbeda itu ada untuk saling mengisi, bukan
sekadar menggenapi.
___________________________________________________________________________________
Lihatlah ke “bawah” untuk kemudian bersyukur
dan lihatlah ke “atas” untuk kemudian melecut diri menjadi lebih baik.