Bismillahirrahmanirrahim..
Puji dan syukur tak
henti-hentinya dipersembahkan hanya untuk Allah swt, pemilik alam semesta, yang
jiwa-jiwa ini adalah milik-Nya.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Lailahaillahu wallahu
Akbar.. Allahu Akbar wa lillailham..
Tak henti-hentinya asma-Mu
memenuhi langit malam ini. Ungkapan kesempurnaan-Mu dari hamba yang bersyukur
atas limpahan kasih sayang yg telah Engkau curahkan. Ungkapan bahagia atas
“kemenangan” dari penantian dan perjuangan sebulan silam.
Takbir yang sahut-menyahut selalu
sama. Baik di Tasik atau di Bandung seperti sekarang, ia sama-sama mendamaikan
hati. Tapi di saat yang sama, terselip “sedih” yang berusaha untuk diam.
Berusaha untuk tidak mendeskripsikan dirinya, karena ia sudah sangat tahu mengapa
ia ada.
Selalu ada “sedih” di penghujung
Ramadhan. Sedih karena jamuan untuk si tamu istimewa bukanlah jamuan terbaik.
Sedih karena masih ada tanda silang pada secarik kertas dengan tulisan “Target
Ramadhan” di atasnya. Sedih karena masih ada kelalaian dan kesia-siaan dua
puluh sembilan hari ke belakang. Sedih karena berat berpisah dengannya yang
sangat dirindu. Sedih memikirkan bagaimana nasib sebelas bulan mendatang dengan
bekal yang tidak diisi maksimal. Sedih karena tak pernah tahu jatah hidup kita,
pun tak tahu masih adakah kesempatan untuk bertemu lagi dengannya.
Bicara Ramadhan kali ini.. Mungkin
ada sesak yang menemani perjalanannya. Kalau bisa dibilang, Ramadhan kali ini
kecolongan start. Sampai akhirnya
saya tersadar saat telah berada di bulan Ramadhan dari seorang ustadz ketika
mengisi tausyiah salat tarawih
__________________________________________________________________________________
“Ramadhan itu bukan bulan latihan, tapi
inilah saatnya kita benar-benar berlomba. Persiapan harus dilakukan jauh
sebelum bulan Ramadhan datang. Ibarat lomba marathon, peserta tanpa latihan
sebelum perlombaan hanya akan semangat di awal. Berbeda dengan ia yang sudah
mempersiapkan sebelumnya.”
Ketika sudah merasa ketinggalan start, pilihannya hanya satu. Maksimalkan
usaha sampai batas kemampuan kita untuk mengobati rasa bersalah yang
mengerdilkan diri. Tapi buktinya, realisasi tekad tidak semulus yang
dibayangkan. Selalu ada faktor A hingga Z yang jadi kerikil-kerikil kecil
selama dua puluh sembilan hari ini.
Kalau boleh memilih, selama
Ramadhan saya ingin semacam mengasingkan diri dari dunia luar yang
mau-tidak-mau penuh dengan tuntutan. Seringkali “apa yang ingin saya lakukan”
dalam pencapaian target-target yang telah dipatok sebagai parameter kesuksesan
Ramadhan terdistraksi dengan hal-hal “apa yang harus saya lakukan”. Sedih,
karena tidak sepenuhnya mendedikasikan diri untuk tamu agung yang telah
dinanti-nanti kehadirannya. Sedih, karena harus menduakannya. Sebenarnya
harusnya “No excuses!!”. Insyaallah ini jadi bahan pembelajaran berikutnya.
Kalau dibandingkan dengan
Ramadhan dua tahun yang lalu, ada rasa malu. Kala itu saya masih sangat baru
terpapar oleh hal-hal semacam keutamaan i’tikaf, membuat targetan Ramadhan
hitam di atas putih, sampai semangat untuk mulai menghapal Al-Quran. Tapi
semangat saya kala itu tidak kalah, bahkan lebih menggebu-gebu dibandingkan
kali ini. Progres hapalan sekarang harus benar-benar “dipecut” untuk bisa maju.
Semacam lupa bagaimana menanamkan tekad seperti dahulu.
Tapi saya tetap bersyukur karena
sedikit bisa memperbaiki ketertinggalan di akhir Ramadhan ini. Kegiatan i’tikaf
selalu bisa menjadi obat untuk jiwa yang kering. Dulu saya sering mencoba
I’tikaf di mesjid berbeda karena rasa penasaran. Mulai dari mesjid yang tidak
terlalu jauh dari rumah, mesjid yang mayoritas peserta i’tikafnya adalah
ibu-ibu, sampai mesjid yang QL-nya membuat tumit lumayan sakit-sakit. Sampai
akhirnya kami (saya dan teman-teman) jatuh cinta pada sebuah mesjid yang cukup
luas, bisa dibilang jauh dari mayoritas tempat tinggal kami, dan cenderung sepi
jika bukan 10 hari terakhir Ramadhan. Ya, Masjid Habiburrahman di dekat PT DI,
Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Masjid ini tidak seperti
kebanyakan mesjid-mesjid besar lainnya yang berada di pusat keramaian. Letaknya
di dalam kompleks lapangan udara sehingga sedikit sulit akses untuk sampai ke
sana apalagi jika melakukan perjalanan malam hari. Biasanya kami baru sampai ke
habib saat pertengahan salat terawih. Cara untuk sampai ke sana hanya ada dua
pilihan jika malam hari: naik ojeg atau jalan kaki.
Sejujurnya saya lebih suka ke
sana dengan jalan kaki ramai-ramai bersama teman-teman. Jalan dari tempat turun
angkot sampai habib memang cukup jauh. Pertama, kami melewati kompleks
pemakaman umum dan rumah penduduk. Setelah itu jalanan bertambah gelap karena
di sebelah kiri adalah jalan beraspal menuju lanud yang dipisahkan oleh tembok sedangkan
di sebelah kanan kebanyakan adalah tanah kosong yang minim penerangan. Lalu
kami harus melewati pemukiman penduduk dan selokan besar sebelum akhirnya
sampai di jalan besar menuju habib.
Bukan karena alasan “ingin olah
raga” atau “menghemat ongkos” yang membuat saya lebih suka berjalan kaki menuju
habib. Tapi hal-hal yang terjadi sepanjang jalan itu lah yang selalu saya
rindukan. Karena jalanan gelap, kami biasanya bergandengan tangan. Kemudian
sepanjang perjalanan kami mu’rajaah hapalan walaupun hapalan kami belum
seberapa. Kala itu kami saling memperbaiki bacaan, saling mengingatkan, saling
menyemangati untuk lebih banyak menghapal :’) Dan kemarin saya mengalaminya
lagi. Muraja’ah sepanjang perjalanan menuju habib sambil bergandengan tangan.
Momen-momen Ramadhan yang sangat dirindukan oleh kami. Walaupun sebenarnya tak
ada yang tahu sampai kapan kami bisa terus seperti itu
Bukan karena lokasinya yang
membuat habiburrahman menjadi spesial. Pun bukan karena ukuran mesjidnya.
Apalagi karena interior mesjid dan hal-hal keduniawian lainnya, tapi karena
Mesjid Habiburrahman selalu memiliki atmosfer tarbiyah yang kental. Benar-benar
tempat yang tepat untuk memberi “makanan” untuk jiwa yang terasa kosong.
Seperti Ramadhan kali ini. Salat malam 8 rakaat dengan membaca kurang lebih
tiga juz Al-Quran terasa mengisi celah-celah kalbu yang kosong karena
digerogoti kelalaian dan rapuh karena kefuturan. Doa qunut di rakaat terakhir
salat witir selalu dilengkapi isak tangis para jamaah atas keharuan doa-doa
yang dipanjatkan. Saat tangan ini menengadah kepada-Nya dan imam salat
memanjatkan doa yang mengingatkan akan dosa-dosa, diri ini merasa sangat kecil.
Seakan diputar kembali catatan dosa-dosa dan keterlenaan oleh kesenangan
duniawi.
Ramadhan ini belum maksimal, belum
mengerahkan segenap usaha terbaik saya. Semoga masih ada kesempatan tahun depan
untuk “balas dendam” memberi jamuan yang lebih baik teruntuk tamu istimewa yang
selalu dirindu. Dan semoga semangat Ramadhan tetap terjaga hingga ia datang
kembali. Semoga masih bisa merasakan indahnya i’tikaf dan silaturahim di bulan
Ramadhan. Aamiin.. allahumma aamiin.. :’)
_____________________________________________________________________________________
“Mungkin itulah makna ukhuwah. Ketika jarak tidak mampu mengendurkan
ikatan di antara hati-hati kami. Ketika waktu tidak mampu mengikis rasa cinta
dan rindu kepada saudara kami. Saat saya, kamu, dan kami saling mencintai dan
berhimpun karena cinta kepada Allah.”
وَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
مَا
أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“... dan (Allah سبحانه و تعالى )
Dia-lah Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfaal 63)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar