Label

Selasa, 04 Desember 2012

Indonesia dan Jatinangor di Balik Kaca Mata Seorang Mahasiswa

"Apa kabar merah putih? Masihkah ia bangga berkibar di tanah air yang tak kunjung usai diserang oleh bertubi-tubi masalah? Masihkah ia gagah berdiri di tanah tumpah darahnya untuk menebarkan semangat persatuan di hati warganya? Jawabannya YA! Karena bangsa ini masih memiliki pemuda yang pundaknya rela dititipkan beban berat untuk membangun kembali Indonesia dari tidur panjangnya"
                                                                                                                                                                   
Bismillahirrahmanirrahim…
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa besar yang kaya raya ini belum benar-benar bisa dikatakan merdeka. Berkibarnya bendera merah putih diiringi sikap hormat nan khusu yang menjadi pemandangan setiap hari Senin bukan satu-satunya simbol kemerdekaan bangsa. Merdeka itu bebas. Bebas dari segala belenggu dan keterpurukan. Lain halnya dengan bangsa Indonesia yang masih harus berjuang keras membenahi masalah-masalah yang ada.
PR hari pertama di sekolah SCORE yaitu melakukan analisis terhadap masalah-masalah di Jatinangor dan Indonesia. Karena di sekolah ini saya mewakili Seksi Pendidikan dan Profesi Senat, analisis yang dilakukan pun dititikberatkan mengenai dunia pendidikan.
Jatinangor. Sebuah kota diantara Bandung-Sumedang yang masih sering dideskritkan dan dipertanyakan keberadaanya telah mengalami revolusi besar-besaran dengan kedatangan para mahasiswa. Mahasiswa banyak berseliweran di jalanan-jalanan Jatinangor hingga mulai mengalahkan jumlah penduduk pribumi. Soekarno saja hanya butuh sepuluh pemuda untuk mengubah dunia. Pantas saja Jatinangor sangat cepat berubah dengan kedatangan beribu-ribu mahasiswa yang notabenenya merupakan pemuda terpelajar. Pertanyaannya, apakah perubahan-perubahan yang terjadi membawa ke arah yang lebih baik? Atau sebaliknya?
Nyatanya, kehadiran orang-orang terpelajar di tanah Jatinangor belum banyak menyelesaikan masalah-masalah yang ada, atau malah melahirkan masalah-masalah baru. Isu mengenai masalah moral dan tindakan kriminal menjadi topik yang sedang naik daun. Masalah pendidikan dan kesehatan pun masih menjadi PR besar untuk dicari penyelesaiannya. Taraf pendidikan masyarakat Jatinangor masih dikatakan rendah apalagi untuk masyarakat yang cukup jauh dari pusat kota. Akses yang sulit menuju ke sekolah, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, serta rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan merupakan beberapa etiologi yang memungkinkan.
Jika dikaitkan hubungan antara kondisi masyarakat Jatinangor saat ini dengan para pendatang di Jatinangor yang mayoritas adalah mahasiswa, akan ditemukan gap besar diantara keduanya. Kaum-kaum terpelajar yang “meminjam” tanah Jatinangor untuk menimba ilmu seharusnya sedikit-banyak memberi sumbangsihnya untuk kemajuan taraf pendidikan masyarakat pribumi. Toh berkontribusi tidak harus menunggu sampai kita menjadi seorang professional, tapi bisa dimulai sejak menjadi seorang mahasiswa. Bukan maksud mengeneralisasi mahasiswa, karena pada kenyataanya ada mahasiswa yang sudah tergerak hatinya untuk melakukan hal-hal yang bisa membantu masyarakat. Misalnya menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah atau melakukan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Jika kita perluas lagi jarak pandang kita menjadi lingkup nasional, ternyata Indonesia pun belum selesai dengan masalah-masalahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kemdikbud, Hamid Muhammad (tahun 2011), mengatakan saat ini terdapat sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih buta huruf. Dan jumlah buta huruf Indonesia pun masih mencapai 5% dari keseluruhan jumlah penduduk. Tidak selesai hanya pada masalah keaksaraan, anak-anak putus sekolah usia SD dan yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya. Semua disebabkan faktor ekonomi. Ada anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan biaya.
Peringkat Indonesia dalam rilis yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO), mengalami penurunan. Indeks pembangunan pendidikan Indonesia dalam EFA Global Monitoring Report 2011,  peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tidak heran jika kita menduduki peringkat tersebut karena pada kenyataannya masih ada sekitar 12 juta penduduk yang bahkan masih belum mengenal huruf alphabet di saat bangsa lain sudah tidak lagi disibukkan dengan strategi pengentasan buta huruf, tapi sudah mulai merancang pembangunan budaya membaca yang disinergisasi oleh pengembangan teknologi.
Sekarang saya coba mengerucutkan bidang pendidikan menjadi lebih terspesialisasi yaitu bidang pendidikan dokter dan profesi dokter. Masalah di bidang pendidikan dokter tidak hanya mengenai kompetensi dan skills secara klinis, tapi menyinggung juga masalah bioetik yang sering terdengar gaungnya. Meninjau dari sisi terminologi, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, perbuatan, cara mendidik. Untuk itu keberhasilan upaya pendidikan tidak cukup jika hanya diukur dengan parameter kompetensi dan penguasaan skill, tapi harus melibatkan perubahan sikap.
Pendapat mengenai kompetensi dokter Indonesia di mata masyarakat sangat beragam. Di satu sisi kompetensi dokter Indonesia sudah dianggap baik, namun sisi lain berpendapat bahwa kompetensi dokter masih tertinggal dibandingkan dengan dokter di negara lain. Wakil Presiden RI kesepuluh, Jusuf Kalla, merasa prihatin bahwa selama ini lima persen rakyat Indonesia jika sakit lebih memilih untuk berobat ke luar negeri.  Disebutkan, penyebab orang suka berobat ke luar negeri yang paling utama karena kualitas dokter dalam negeri masih tertinggal dibanding dengan dua negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Selain itu, masalah pelayanan juga menjadi faktor mengapa orang lebih memilih berobat ke luar negeri.
Bicara tentang kompetensi, sudah menjadi kewajiban para dokter dan calon dokter untuk terus meng-upgrade diri menjadi dokter dan calon dokter yang kompeten dan bernilai jual tinggi. Bukan semata untuk “dipandang” tinggi, pun bukan untuk orientasi materi. Peningkatan kompetensi ini semata-mata untuk memaksimalkan potensi dalam mengabdi dan menebar manfaat untuk orang banyak. Selain itu, menjadi dokter yang berkompeten pun menjadi modal besar dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Pakar bedah syaraf internasional, Pr Dr dr Eka Wahyupramono, SpBS mengatakan, dokter Indonesia harus siap hadapi era Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Menurut dr. Eka, jika dokter Indonesia tidak memacu peningkatan kualitas, maka bisa dipastikan hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Menurut dr. Pranawa, SpPD, KGH, anggota bidang advokasi PB PAPDI, dokter di Indonesia memiliki skill yang dapat disejajarkan dengan dokter asing. Namun, dalam sisi produk, promosi, dan layanan delivery belum siap. Untuk meningkatkan kualitas dokter dan layanan kesehatan di Indonesia, tidak hanya melibatkan semua dokter dan ikatan profesi (Ikatan Dokter Indonesia - IDI), tetapi juga kebijakan pemerintah.
Kesimpulannya, masih banyak PR besar bangsa ini untuk menyelesaikan masalah yang ada termasuk dalam bidang pendidikan. UUD 1945 pasal 31 belum sepenuhnya dilaksanakan. Pun dengan pendidikan dokter yang masih harus dibenahi demi terbentuknya tenaga-tenaga medis yang berkompeten, beretika, dan memiliki daya saing untuk menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Dan satu hal yang perlu ditekankan, kesuksesan pendidikan kedokteran tidak hanya diukur dari ilmu dan keterampilan yang dimiliki tapi juga etika, moral, dan spiritual yang baik dalam setiap diri seorang dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar