"Apa
kabar merah putih? Masihkah ia bangga berkibar di tanah air yang tak kunjung
usai diserang oleh bertubi-tubi masalah? Masihkah ia gagah berdiri di tanah
tumpah darahnya untuk menebarkan semangat persatuan di hati warganya?
Jawabannya YA! Karena bangsa ini masih memiliki pemuda yang pundaknya rela
dititipkan beban berat untuk membangun kembali Indonesia dari tidur panjangnya"
Bismillahirrahmanirrahim…
Tidak
bisa dipungkiri bahwa bangsa besar yang kaya raya ini belum benar-benar bisa
dikatakan merdeka. Berkibarnya bendera merah putih diiringi sikap hormat nan
khusu yang menjadi pemandangan setiap hari Senin bukan satu-satunya simbol
kemerdekaan bangsa. Merdeka itu bebas. Bebas dari segala belenggu dan
keterpurukan. Lain halnya dengan bangsa Indonesia yang masih harus berjuang
keras membenahi masalah-masalah yang ada.
PR
hari pertama di sekolah SCORE yaitu melakukan analisis terhadap masalah-masalah
di Jatinangor dan Indonesia. Karena di sekolah ini saya mewakili Seksi
Pendidikan dan Profesi Senat, analisis yang dilakukan pun dititikberatkan
mengenai dunia pendidikan.
Jatinangor.
Sebuah kota diantara Bandung-Sumedang yang masih sering dideskritkan dan
dipertanyakan keberadaanya telah mengalami revolusi besar-besaran dengan kedatangan
para mahasiswa. Mahasiswa banyak berseliweran di jalanan-jalanan Jatinangor hingga
mulai mengalahkan jumlah penduduk pribumi. Soekarno saja hanya butuh sepuluh
pemuda untuk mengubah dunia. Pantas saja Jatinangor sangat cepat berubah dengan
kedatangan beribu-ribu mahasiswa yang notabenenya merupakan pemuda terpelajar.
Pertanyaannya, apakah perubahan-perubahan yang terjadi membawa ke arah yang
lebih baik? Atau sebaliknya?
Nyatanya,
kehadiran orang-orang terpelajar di tanah Jatinangor belum banyak menyelesaikan
masalah-masalah yang ada, atau malah melahirkan masalah-masalah baru. Isu
mengenai masalah moral dan tindakan kriminal menjadi topik yang sedang naik
daun. Masalah pendidikan dan kesehatan pun masih menjadi PR besar untuk dicari
penyelesaiannya. Taraf pendidikan masyarakat Jatinangor masih dikatakan rendah
apalagi untuk masyarakat yang cukup jauh dari pusat kota. Akses yang sulit
menuju ke sekolah, keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan, serta
rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan merupakan beberapa etiologi yang
memungkinkan.
Jika
dikaitkan hubungan antara kondisi masyarakat Jatinangor saat ini dengan para
pendatang di Jatinangor yang mayoritas adalah mahasiswa, akan ditemukan gap
besar diantara keduanya. Kaum-kaum terpelajar yang “meminjam” tanah Jatinangor
untuk menimba ilmu seharusnya sedikit-banyak memberi sumbangsihnya untuk
kemajuan taraf pendidikan masyarakat pribumi. Toh berkontribusi tidak harus menunggu sampai kita menjadi seorang professional,
tapi bisa dimulai sejak menjadi seorang mahasiswa. Bukan maksud mengeneralisasi
mahasiswa, karena pada kenyataanya ada mahasiswa yang sudah tergerak hatinya
untuk melakukan hal-hal yang bisa membantu masyarakat. Misalnya menjadi tenaga
pengajar di sekolah-sekolah atau melakukan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Jika
kita perluas lagi jarak pandang kita menjadi lingkup nasional, ternyata
Indonesia pun belum selesai dengan masalah-masalahnya, termasuk dalam bidang
pendidikan. Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kemdikbud, Hamid Muhammad
(tahun 2011), mengatakan saat ini terdapat sekitar 800 juta penduduk dunia yang
masih buta huruf. Dan jumlah buta huruf Indonesia pun masih mencapai 5% dari
keseluruhan jumlah penduduk. Tidak selesai hanya pada masalah keaksaraan, anak-anak
putus sekolah usia SD dan yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4
persen) dari lulusan SD tiap tahunnya. Semua disebabkan faktor ekonomi. Ada
anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan
biaya.
Peringkat
Indonesia dalam rilis yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO), mengalami penurunan. Indeks
pembangunan pendidikan Indonesia dalam EFA Global Monitoring Report 2011,
peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tidak heran jika
kita menduduki peringkat tersebut karena pada kenyataannya masih ada sekitar 12
juta penduduk yang bahkan masih belum mengenal huruf alphabet di saat bangsa lain
sudah tidak lagi disibukkan dengan strategi pengentasan buta huruf, tapi sudah
mulai merancang pembangunan budaya membaca yang disinergisasi oleh pengembangan
teknologi.
Sekarang
saya coba mengerucutkan bidang pendidikan menjadi lebih terspesialisasi yaitu
bidang pendidikan dokter dan profesi dokter. Masalah di bidang pendidikan
dokter tidak hanya mengenai kompetensi dan skills secara klinis, tapi
menyinggung juga masalah bioetik yang sering terdengar gaungnya. Meninjau dari sisi
terminologi, pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, perbuatan,
cara mendidik. Untuk itu keberhasilan upaya pendidikan tidak cukup jika
hanya diukur dengan parameter kompetensi dan penguasaan skill, tapi harus
melibatkan perubahan sikap.
Pendapat
mengenai kompetensi dokter Indonesia di mata masyarakat sangat beragam. Di satu
sisi kompetensi dokter Indonesia sudah dianggap baik, namun sisi lain
berpendapat bahwa kompetensi dokter masih tertinggal dibandingkan dengan dokter
di negara lain. Wakil Presiden RI kesepuluh, Jusuf Kalla, merasa prihatin bahwa
selama ini lima persen rakyat Indonesia jika sakit lebih memilih untuk berobat
ke luar negeri. Disebutkan, penyebab
orang suka berobat ke luar negeri yang paling utama karena kualitas dokter
dalam negeri masih tertinggal dibanding dengan dua negara tetangga, Malaysia
dan Singapura. Selain itu, masalah pelayanan juga menjadi faktor mengapa orang
lebih memilih berobat ke luar negeri.
Bicara
tentang kompetensi, sudah menjadi kewajiban para dokter dan calon dokter untuk
terus meng-upgrade diri menjadi
dokter dan calon dokter yang kompeten dan bernilai jual tinggi. Bukan semata
untuk “dipandang” tinggi, pun bukan untuk orientasi materi. Peningkatan
kompetensi ini semata-mata untuk memaksimalkan potensi dalam mengabdi dan
menebar manfaat untuk orang banyak. Selain itu, menjadi dokter yang berkompeten
pun menjadi modal besar dalam menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. Pakar bedah
syaraf internasional, Pr Dr dr Eka Wahyupramono, SpBS mengatakan, dokter
Indonesia harus siap hadapi era Asia Pasific Economic Cooperation (APEC).
Menurut dr. Eka, jika dokter Indonesia tidak memacu peningkatan kualitas, maka
bisa dipastikan hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Menurut
dr. Pranawa, SpPD, KGH, anggota bidang advokasi PB PAPDI, dokter di Indonesia
memiliki skill yang dapat disejajarkan dengan dokter asing. Namun, dalam sisi
produk, promosi, dan layanan delivery
belum siap. Untuk meningkatkan kualitas dokter dan layanan kesehatan di
Indonesia, tidak hanya melibatkan semua dokter dan ikatan profesi (Ikatan
Dokter Indonesia - IDI), tetapi juga kebijakan pemerintah.
Kesimpulannya,
masih banyak PR besar bangsa ini untuk menyelesaikan masalah yang ada termasuk
dalam bidang pendidikan. UUD 1945 pasal 31 belum sepenuhnya dilaksanakan. Pun
dengan pendidikan dokter yang masih harus dibenahi demi terbentuknya tenaga-tenaga
medis yang berkompeten, beretika, dan memiliki daya saing untuk menghadapi
pasar bebas ASEAN 2015. Dan satu hal yang perlu ditekankan, kesuksesan
pendidikan kedokteran tidak hanya diukur dari ilmu dan keterampilan yang
dimiliki tapi juga etika, moral, dan spiritual yang baik dalam setiap diri
seorang dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar