Label

Jumat, 02 September 2011

Sahabat Kecil (Ost. Laskar Pelangi) - Ipank


Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli

Reff:
Bersamamu ku habiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

Back to Reff:

Janganlah berganti
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
***

Salah satu Ost. Laskar Pelangi ini selalu bikin saya sedih. Walaupun lagunya terbilang simpel, tapi liriknya "dalem" banget. Apalagi lagu yang keren ini jadi OST film fenomenal yang sarat makna, Laskar Pelangi, jadi para pendengar bisa langsung memvisualisasikan lagu ini dalam film Laskar Pelangi. Anak-anak pedalaman Pulau Belitong yang punya berjuta mimpi walau dengan beribu keterbatasan dan masa kanak-kanak yang begitu "mengalir" terasa begitu sempurna dengan kehadiran sahabat-sahabat kita.
Begitu juga saya, bukan hanya dalam cerita film Laskar Pelangi, tapi saya juga mengalami cerita seperti itu. Sahabat-sahabat terbaik, perjuangan bersama, tawa-tangis, haru-bahagia, semangat-letih, semua jadi bumbu persahabatan saya, terutama tiga tahun ke belakang, masa-masa SMA. DKM AF 2011, 32011, OSIS LVII, #sipitung, kalimantan7, telah menggores ceritanya masing-masing. Sekarang mungkin tinggal mengenang,  mengenang tiga tahun yang luar biasa. Dan berterima kasih, berterima kasih kepada Yang Maha Memiliki Kasih.

Janganlah berganti... Janganlah berganti... Janganlah berganti...
Tetaplah seperti ini.. 
...
Sahabat..

"Ini bukan ghibah, tapi fakta!!"


Berawal dari percakapan saya sama temen saya (percakapan kaya gini ga cuma terjadi satu kali, kalau terjadi pas bulan Ramadhan biasanya ceritanya lebih dramatis dari hari-hari biasa)
Teman  : “Si itu tuh dsackjbvjbskvbhcchzbd…… (5 menit…. 15 menit… setengah jam…)

                    Astagfirullah ngomongin orang!!! (dengan ekspresi bersalah)
Saya       : “Padahal udah ngomongin panjang lebar tuh (dalam hati).”  (senyum-senyum ga

                    jelas)
T              : “Wah gimana dong?” (mikir) “Eh, tapi kan ini bukan ngomongin, ini mah kenyataan.
             
                    Ga apa-apa kan kalau ngomongin kenyataan.”
S             :  (senyum-senyum tambah ga jelas. Speachless. Mikir harus ngomong apa. Akhirnya
                  memutuskan untuk …. DIAM)
(Saya tau ada yang salah dengan statement “Ga apa-apa kan kalau ngomongin kenyataan”, tapi saya masih bingung alasan terbaik untuk matahin statement itu. Daripada salah penyampaian, mendingan cari tau dulu.)         <---- ini nih arti pentingnya ilmu
***
Akhirnya beberapa minggu--entah bulan-- kemudian, tanpa sengaja, saya dapet jawabannya waktu denger tausiyah sebelum salat tarawih.
Ustadz  : “…. terutama  menjaga lisan. Contohnya, biasanya ibu-ibu sambil nunggu magrib

                  suka kumpul sama tetangga-tetangga, ngomongin ini-itu. Yang pendiem juga
             
                  biasanya suka ikut-ikutan. Itu namanya ghibah, jamaah tarawih sekalian. Walaupun

                  menurut kita, apa yang kita bicarakan itu sebuah kenyataan, tapi yang seperti itu

                  tetap saja termasuk ghibah.” (JLEB!! )
“Ghibah itu membicarakan seseorang  di belakang tentang hal-hal yang dia (orang

  yang dibicarakan; red) tidak suka kalau hal tersebut diketahui orang lain.

  Walaupun kita bilang “Ini kenyataan, fakta, bukan ngomongin orang.” ,

  tetap saja termasuk ghibah. Kalau ngomongin yang bukan fakta sih

  beda perkara. Itu namanya bukan ghibah, tapi fitnah.”
S              : “Astagfirullah.. Bener banget lah. Siapa coba yang suka kalau aibnya diumbar-

                    umbar? Sekali pun itu fakta, tetep aja ga ada yang suka diomongin di belakang.

                   (dalam hati. Merenung)”

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat ayat 12)
 
Menggunjing = memakan bangkai saudara sendiri

so? STOP GHIBAH-ING!!
(further information about ghibah --->  http://hadits.info/2011/07/22/ghibah-seni-memakan-bangkai )

Selasa, 30 Agustus 2011

Bila Waktu Tlah Berakhir - Opick

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yg sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masikah ada jalan bagimu
Untuk kembali mengulangkan masa lalu

Dunia dipenuhi dengan hiasan
Semua dan segala yg ada akan
kembali padaNya

Reff:
Bila waktu tlah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tingallah sepi

(liriknya 'dalem' banget. Manusia sering terbuai dengan dunia, padahal ga ada yang dibawa saat kembali kepada-Nya, kecuali AMAL SHALIH)

Spesialnya Ramadhan II


“Allahu Akbar Walillah ilham..”
Merangkak—kalau belum bisa disebut melesat—ke tingkat yang lebih ‘tinggi’. Makna spesial Ramadhan saat ini beda banget. Ga kaya enam tahun yang lalu, apalagi dua belas tahun yang lalu. Motivasi baju lebaran, kue, angpau, dan materi yang lainnya mulai pudar, automatically. Kalau dulu sibuk bikin kue nastar jambu, moles-moles pake telor biar mengkilap; sekarang lebih mikirin gimana caranya memoles akhlak yang sempurna. Agenda hunting baju lebaran diganti jadi fitting diri dengan pakaian iman. Bahkan angpau, si tamu lebaran yang spesial dan sangat ditunggu-tunggu pun terlupakan. Sebenernya sengaja dilupakan, alasan awalnya sih karena ga tega menghargai makna Ramadhan cuma dengan dua ribu rupiah per hari (ini bukan alibi biar dapet angpau lebih ya). Kesannya shaum Ramadhan cuma untuk memenuhi perintah orang tua. Kita shaum, ‘dibayar’ pake angpau.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah ayat 183)
“agar kamu bertaqwa”. Tujuan shaum Ramadhan bukan buat jadi orang kaya sesaat gara-gara ada hujan angpau. Satu atau dua bulan kemudian juga udah abis, dipake maen PS, beli barang-barang terlampau konsumtif yang ujung-ujungnya “dipeuyeum” di gudang atau lemari. Alhasil, pupus sudah tradisi ngarep angpau tiap lebaran. Sekarang jadi ngarep hidayah supaya jadi orang bertakwa. Aamiin ^^
Sekarang udah mulai merancang targetan tiap Ramadhan, mulai dari menghindari ga sengaja ngomongin orang (ghibah) sampai itikaf di sepuluh hari terakhir (sebenernya masih dipilihin yang ganjilnya doang). Mulai deg-degan kalau targetan masih jauh, bahkan galau kalau ada target yang failed.
Ramadhan memang tamu agung yang sangat ga bisa dan ga pantes buat disebut ‘biasa aja’.
“Ko Ramadhan ini kerasa biasa aja ya?”
Saya paling ga setuju sama statement sejenis itu. Bulan saat semua amal baik dilipatgandakan pahalanya, saat pintu-pintu surga dibuka lebar, saat syetan dari golongan jin dibelenggu, saat acara televisi dan artis-artis ibu kota berusaha untuk jadi lebih islami, saat orang-orang lebih giat saling menasehati dalam kebaikan, saat orang-orang berlomba untuk berinfak; momen kaya gini sangat tidak pantas sekali (hiperbola untuk menegaskan) untuk dibilang ‘biasa aja’.
Ramadhan selalu spesial. SELALU. Atau cobalah untuk membuatnya jadi spesial (karena pada dasarnya kan memang sangat spesial). Kapan kita bisa shaum sebulan penuh serempak dengan seluruh umat muslim di dunia yang ga ada pengecualian secara geografis? Bulan Ramadhan. Kapan saat ibu-ibu, remaja, anak-anak rela ga nonton sinetron demi salat tarawih di mesjid? Bulan Ramadhan. Kapan saat banyak orang ninggalin ‘kenyamanan’ rumah demi bermalam di mesjid, mencari ridha Allah melalui laitatul qadr? Bulan Ramadhan.
Dulu, saya juga pernah berpikir dan mengalami ‘Ramadhan yang biasa-biasa saja’. Tapi akhirnya saya yang berusaha buat jadi luar biasa. Ada yang salah dalam diri saya kalau Ramadhan dianggap biasa. Mungkin raga rajin beribadah, tapi gimana dengan hati? Apa hati juga terlibat dan diikutsertakan di dalamnya? Tanyakan.. tanyakan bukan pada rumput yang bergoyang.
***

Spesialnya Ramadhan I



Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar. Laailahaillallah huwallahu akbar. Allahu akbar walillah ilham


Alhamdulillah malam ini masih dianugerahi nikmat sangat luar biasa buat menikmati “euforia” yang juga luar biasa dalam menyambut hari raya umat Islam, Idul Fitri 1432 H. Rasanya damai mendengar takbir bersahut-sahutan. Mulai dari mesjid deket rumah yang jaraknya kurang dari lima puluh meter sampai mesjid entah di mana yang suara takbirnya cuma terdengar sayup-sayup. ‘Pembagian suara’nya sempurna sampai menciptakan ‘seni’ yang luar biasa indah untuk dinikmati (ga cuma didengar, pun diresapi maknanya)


Saya masih bingung setiap lebaran idul fitri tiba. Harus seneng atau sedih?  Walaupun keduanya muncul, saya ga tahu mana yang lebih dominan. Yang pasti, saya sangat suka atmosfer selama menjalani bulan Ramadhan dan suasana takbiran seperti malam ini, menikmati lantunan takbir sampai esok hari. Ini waktu yang tepat untuk flashback sebulan ke belakang. Udah ngapain aja sih? Apa kabar targetan-targetan Ramadhan? Lebih banyak waktu tidur atau tilawah? Lebih milih nonton tv atau pergi ke mesjid buat tarawih? Seringkali instropeksi itu bikin nyesek. Ceritanya sih menyesali kesia-siaan, tapi kalau tanpa usaha memperbaiki sih apa gunanya? Udah nyesek terus nonsense. Astagfirullah…


Semenjak saya masih kecil, mungkin tahun-tahun pertama belajar shaum di bulan Ramadhan, atau bahkan baru belajar shaum setengah atau seperempat hari, Ramadhan selalu terasa spesial. Tentunya ga lepas dari rasa spesial secara duniawi. Tapi ternyata seiring pendewasaan diri, pemahaman tentang ‘spesialnya bulan Ramadhan’ terus bermetamorfosis menjadi lebih bermakna, lebih hakiki.


Waktu saya masih TK dan mungkin SD, yang membuat Ramadhan jadi spesial adalah kue lebaran, baju baru, dan THR hasil kerja keras nahan lapar dan haus sampai adzan dzuhur atau ashar. Setiap hari, saya dengan semangat melingkari angka di kertas ‘Jadwal Imsakiyah’ kalau ‘tamat’ shaum di hari itu (ukuran tamatnya masih sebatas adzan dzuhur atau ashar). Di hari-hari terakhir Ramadhan, saya ngitung jumlah lingkarannya terus dikali Rp 2000,-. Kalau dipikir-pikir, tega juga ya shaum Ramadhan dianggap seharga dengan dua ribu rupiah? (Namanya juga anak kecil..) Iming-iming baju baru dan kue lebaran juga ga kalah menarik dibanding ‘gaji’ dua ribu per hari. Intinya, tujuan Ramadhan saat itu masih sangat sangat duniawi sekali.


Naik tingkat saat saya SD (kelas 5,6 mungkin) dan SMP. Kadar ‘spesial’ yang saya dapet setidaknya lebih baik dari sebelumnya. Ramadhan kali itu ga cuma (berarti masih) buat dapet angpau, baju baru, dan rame-ramean bikin kue lebaran aja, tapi karena jadwal sekolah lebih singkat dari biasanya (waktu masih kecil belum terlalu ngerti bahagianya pulang sekolah cepet). Selain itu, Ramadhan terasa ‘beda’ dari hari-hari yang lain karena ada program pesantren kilat di luar jam KBM. Ga tau kenapa saya seneng aja ikut pesantren kilat, mungkin karena dapet agenda ‘ngabuburit’ yang menyenangkan. Bada ashar pergi ke mesjid agung, baru pulang menjelang magrib terus langsung buka puasa. Karena rumah saya deket dari mesjid agung jadi pulang-pergi pesantren bisa jalan kaki, lumayan lah sambil liat orang-orang yang ngabuburit di jalan raya sampai distro-distro. Satu hal lagi yang (mungkin) bikin saya semangat pesantren kilat. Di akhir kegiatan pesantren, ada evaluasi kaya quiz yang pertanyaannya dari materi selama kegiatan pesantren. Teknisnya kaya pertanyaan rebutan. Panitia bertanya, peserta rebutan ngacung. Yang jawabannya bener biasanya dikasih hadiah, angpau (lagi-lagi motivasinya angpau. Maafkan hamba Ya Rabb). Tapi angpau yang ini beda ‘rasanya’ dari ‘gaji puasa’. Ada kepuasan luar biasa kalau bisa dapet. Bayangin, peserta pesantren bisa sampai ratusan, ga dibedain siapa anak kelas VII dan siapa anak kelas IX. Apalagi sebelumnya kaka saya pernah jadi orang hebat yang beruntung bisa dapet angpau quiz, gimana saya engga terpacu dan semangat coba? Dan Alhamdulillah akhirnya saya merasakan ngejawab pertanyaan dan dapet angpau quiz. Berkah Ramadhan… Hehehe



Bandung, kamar, 1:06 am (backsound: takbir yang mendamaikan ^^) 
(bersambung..)

Kamis, 17 Maret 2011

"Ketimpangan" yang menyadarkan

Aku takkan pernah berhenti untuk berlari. Bahkan ketika aku merasa sedang berdiam diri, nyatanya aku terus berjalan mengumpulkan keping demi keping kisah hidup yang masih tersebar entah di mana. Entah "warna" apa kepingan itu. Entah kesan apa yang dimilikinya.

Hari ini aku menemukan satu keping (lagi). Hikmah besar yang aku dapat dari sebuah kegagalan. Ini bukan hikmah dari kegagalan yang pertama aku dapat. Mungkin ke-seratus atau ke-seribu. Tapi, aku tak akan dan tak mau bosan untuk meresapi setiap butir hikmah yang terkandung dalam kisah.

Aku sangat bersyukur dan bahagia atas segala nikmat yang dititipkan Allah. Dari nikmat tak terhingga yang diberikan-Nya, "inilah" salah satu yang sangat aku syukuri. "Ini" membuat orang-orang yang memilikinya dipandang berbeda, "ini" bisa membuat orang terlena, tapi "ini" sangat berguna. Sampai aku pun hampir (atau telah) terlena karenanya. Tiga tahun, bahkan lebih aku terbuai oleh keindahannya. Aahh miris sekali!

Sampai saat ini, ketika dua peristiwa terjadi pada saat yang hampir bersamaan dengan tokoh utama yang berbeda, aku dan temanku, saat inilah aku "terbangun". Bukan terbangun dari mimpi indah seperti kisah Putri Salju dan Pangeran Berkuda, tapi tersadar dari keterlenaan yang bagaikan lumpur hidup, tenang dan mematikan. Saat kegagalan dari sebuah proyek biasa dan keberhasilan sangat luar biasa disandingkan tanpa sekat. Saat aku dipaksa melihat kenyataan akan dua hal itu. Ketimpangan yang sungguh timpang sekali. Analoginya, seorang profesor yang amat termahsyur gagal mendapat ikan di kolam sedangkan seseorang yang baru menyandang gelar profesor berhasil mendulang emas. Betapa miris profesor termahyur itu, bahkan untuk mendapatkan ikan di kolam saja tidak mampu. Untung saja profesor itu tidak memutuskan untuk melompat ke kolam, mengakhiri hidupnya.

Itulah, ketika kita harus menerima kenyataan pahit. Apalagi jika ada pembanding yang mungkin membuat kita semakin terpuruk. Tapi tak akan pernah ada kata terpuruk bagi seorang pemenang. Bahkan tidak ada waktu untuk berlama-lama terjatuh. Introspeksi dan bangkit menjadi kata-kata wajib dalam kamusnya. Ya, INTROSPEKSI  dan BANGKIT.

Sabtu, 26 Februari 2011

Jalan Sepi yang Kutelusuri


Pernahkah kau merasa sendiri ketika ada di jalan ini? Atau kau merasa terlalu sepi sehingga ingin menyudahi? Ah, memang manusia sering sekali melupakan satu hal ini. Kau tak akan pernah merasa berjalan sendiri selama Allah ada di hatimu. Lupakah engkau akan hal itu? Bukankah tugas kita sekadar menyampaikan kebaikan dan kebenaran, bukan untuk memaksa orang lain agar ada di jalan yang sama dengan kita. Biarlah hatinya yang memilih, toh hidup adalah pilihan. Jalan mana yang akhirnya mereka pilih adalah pilihan hidup mereka, bahkan kita tak bertanggung jawab untuknya.

Minggu, 09 Januari 2011

Kisah Takkan Usai (ini lagu)

Kita buka kisah ini
Mengukir cerita dengan cinta
Mengawali perjuangan bersama
Menautkan hati, satukan langkah

Kisah persahabatan kita
Sempurna hiasi hidup
Walau kadang ada luka
Terhapus oleh ketulusan

Reff:
Kisah sahabat
Mengalun bagai melodi
Takkan sanggup untuk ku akhiri
Wahai sahabat
Kisah ini kan abadi
Terukir di hari
Karena kisah ini takkan pernah usai

Persahabatan sejati
Tuk raih satu tujuan
Tangis dan canda lengkapi kita
Takkan pernah hilang ditelan waktu

Mungkin kita kan berpisah
Jalani hari yang baru
Takkan mungkin seperti dulu
Tinggal lah sebuah kenangan

Inspired by AF 2011

Sabtu, 08 Januari 2011

Gundahku Kini


Menakutkan
Saat mimpi tak mampu mengambil langkah
Menyerah kepada ego diri
Tinggal meratapi impian yang masih menunggu
Berharap ada yang sudi menjemput

Membingungkan
Saat langkah tak bisa membaca arah
Semua seolah abstrak
Terlalu banyak jalan di persimpangan
Aku terdiam karena tak mampu memilih

Memilukan
Saat aku harus merelakan mimpi
Menyatu dengan kabut hingga saru
Sampai tak lagi terlihat
Sampai tak ada lagi sisa
Bahkan hanya untuk mengenang

Minggu, 02 Januari 2011

Kisah Yahudi dan Sepotong Tulang

Sejak menjabat gubernur, Amr bin Ash tidak lagi pergi ke medan tempur. Dia lebih sering tinggal di istana. Di depan istananya yang mewah itu ada sebidang tanah yang luas dan sebuah gubuk reyot milik seorang Yahudi tua.

“Alangkah indahnya bila di atas tanah itu berdiri sebuah masjid,” gumam sang gubernur.

Singkat kata, Yahudi tua itu pun dipanggil menghadap sang gubernur untuk bernegosiasi. Amr bin Ash sangat kesal karena si kakek itu menolak untuk menjual tanah dan gubuknya meskipun telah ditawar lima belas kali lipat dari harga pasaran.

“Baiklah bila itu keputusanmu. Saya harap Anda tidak menyesal!” ancam sang gubernur.

Sepeninggal Yahudi tua itu, Amr bin Ash memerintahkan bawahannya untuk menyiapkan surat pembongkaran. Sementara si kakek tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis. Dalam keputusannya terbetiklah niat untuk mengadukan kesewenang-wenangan gubernur Mesir itu pada Khalifah Umar bin Khattab.

“Ada perlu apa kakek, jauh-jauh dari Mesir datang ke sini?” tanya Umar bin Khattab. Setelah mengatur detak jantungnya karena berhadapan dengan seorang khalifah yang tinggi besar dan berwibawa, si kakek itu mengadukan kasusnya. Padahal penampilan khalifah Umar amat sederhana untuk ukuran pemimpin yang memiliki kekuasaan begitu luas. Dia ceritakan pula bagaimana perjuangannya untuk memiliki rumah itu.

Merah padam wajah Umar begitu mendengar penuturan orang tua itu.

“Masya Allah, kurang ajar sekali Amr!” kecam Umar.

“Sungguh Tuan, saya tidak mengada-ada,” si kakek itu semakin gemetar dan kebingungan. Dan ia semakin bingung ketika Umar memintanya mengambil sepotong tulang, lalu menggores tulang itu dengan pedangnya.

“Berikan tulang ini pada gubernurku, saudara Amr bin Ash di Mesir,” kata sang Khalifah, Al Faruq, Umar bin Khattab.

Si Yahudi itu semakin kebingungan, “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkan saya!” ujar Yahudi itu pelan.

Dia cemas dan mulai berpikir yang tidak-tidak.Jangan-jangan khalifah dan gubernur setali tiga uang, pikirnya. Di manapun, mereka yang mayoritas dan memegang kendali pasti akan menindas kelompok minoritas, begitu pikir si kakek. Bisa jadi dirinya malah akan ditangkap dan dituduh subversif.

Yahudi itu semakin tidak mengerti ketika bertemu kembali dengan Gubernur Amr bin Ash. “Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar. Wajahnya pucat dilanda ketakutan yang amat sangat. Yahudi itu berlari keluar menuju gubuk reyotnya untuk membuktikan kesungguhan perintah gubernur. Benar saja, sejumlah orang sudah bersiap-siap menghancurkan masjid megah yang sudah hampir jadi itu.

“Tunggu!” teriak sang kakek. “Maaf, Tuan Gubernur, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu? Apa keistimewaan tulang itu sampai-sampai Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!” Amr bin Ash memegang pundak si kakek, “Wahai kakek, tulang itu hanyalah tulang biasa, baunya pun busuk.”

“Tapi…..” sela si kakek.

“Karena berisi perintah khalifah, tulang itu menjadi sangat berarti.

Ketahuilah, tulang nan busuk itu adalah peringatan bahwa berapa pun tingginya kekuasaan seseorang, ia akan menjadi tulang yang busuk. Sedangkah huruf alif yang digores, itu artinya kita harus adil baik ke atas maupun ke bawah. Lurus seperti huruf alif. Dan bila saya tidak mampu menegakkan keadilan, khalifah tidak segan-segan memenggal kepala saya!” jelas sang gubernur.

“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh, saya rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Dan bimbinglah saya dalam memahami ajaran Islam!” tutur si kakek itu dengan mata berkaca-kaca.


Kisah Pakis dan Bambu

Alkisah, tersebutlah seorang pria yang putus asa dan ingin meninggalkan segalanya. Meninggalkan pekerjaan, hubungan, dan berhenti hidup.
Ia lalu pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

“Tuhan,” katanya. “Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti hidup dan menyerah ?”
Jawaban Tuhan sangat mengejutkan.
“Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu ?”.
“Ya,” jawab pria itu.
“Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik. Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air. Pakis tumbuh cepat di bumi. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan. Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun. Tapi Aku tidak menyerah.
“Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak,
tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu.
Tapi Aku tidak menyerah.
“Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu.
Tapi Aku tidak menyerah.
Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu.
Aku tidak menyerah,” kataNya.
“Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil.
Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna.
Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki.
Untuk menumbuhkan akar itu perlu waktu 5 tahun.
Akar ini membuat bambu kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup.
Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku, “kata Tuhan kepada pria itu.
“Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya menumbuhkan akar-akar?”
“Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu.”
“Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain,” kata Tuhan.
“Bambu mempunyai tujuan yang beda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah.”
“Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi."

edukasi.kompasiana.com

Kisah Bocah Misterius

Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan menggoda orang tua. Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung.

Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengantetesan air dan butiran-butiran es yang  melekat diplastik es tersebut.

Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.

Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari dikampung itu lebihterik dari biasanya. Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampong mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti is idaging tersebut.
Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap  dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.
Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kataorang kampung, belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari  kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga! Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga.

Luqman pun lalu menegurnya.. Cuma,ya itu tadi,bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar. "Bismillah..  ." ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir,kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini. Kalau memang bocah itu "bocah beneran" pun, ia juga akan cari keterangan, siapadan dari mana sesungguhnya bocah itu.

Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman. Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya. "Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.

"Maaf ya, itu karena kamu melakukannya di bulan puasa," jawab Luqman dengan halus,"apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.."
Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya,mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap Luqman lebih tajam lagi. "Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbangsaya..?! Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa?

Bukankah kalian yang lebih sering melupakan  kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal..?!

Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian...!?"  Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya iaberkata begitu tegas dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.

"Ketahuilah Tuan.., kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah juga, justru Tuan dan orang-orang disekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luarbiasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan 'Idul Fitri?

Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan 'IdulFithri?  Tuan.., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.

Tuan.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang  kecil seperti  kami...!  Tuan.., sadarkah Tuan akan ketidakabadian harta?

Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secaraberlebih? Tuan.., sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukanhanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?

Tuan.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjakbumi. Tuan..., jangan  merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan 'tuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak...."

Wuahh..., entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman.Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan.  Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya! Hal ini menambah keyakinan Luqman, bahwa bocah ini bukanlah bocah sembarangan. Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu  pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.

Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, balik kerumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional,  tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa memang betul adanya apa yang dikatakan bocah misterius tadi. Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan orangyang seharusnya kita ingat.. Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan  mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak.

Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada diatas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.

Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar. Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang  luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati  mata hatinya.

Sekarang yang ada dipikirannya sekarang , entah mau dipercaya orang atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.
Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati. Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir. Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya.