Label

Selasa, 30 Agustus 2011

Spesialnya Ramadhan II


“Allahu Akbar Walillah ilham..”
Merangkak—kalau belum bisa disebut melesat—ke tingkat yang lebih ‘tinggi’. Makna spesial Ramadhan saat ini beda banget. Ga kaya enam tahun yang lalu, apalagi dua belas tahun yang lalu. Motivasi baju lebaran, kue, angpau, dan materi yang lainnya mulai pudar, automatically. Kalau dulu sibuk bikin kue nastar jambu, moles-moles pake telor biar mengkilap; sekarang lebih mikirin gimana caranya memoles akhlak yang sempurna. Agenda hunting baju lebaran diganti jadi fitting diri dengan pakaian iman. Bahkan angpau, si tamu lebaran yang spesial dan sangat ditunggu-tunggu pun terlupakan. Sebenernya sengaja dilupakan, alasan awalnya sih karena ga tega menghargai makna Ramadhan cuma dengan dua ribu rupiah per hari (ini bukan alibi biar dapet angpau lebih ya). Kesannya shaum Ramadhan cuma untuk memenuhi perintah orang tua. Kita shaum, ‘dibayar’ pake angpau.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah ayat 183)
“agar kamu bertaqwa”. Tujuan shaum Ramadhan bukan buat jadi orang kaya sesaat gara-gara ada hujan angpau. Satu atau dua bulan kemudian juga udah abis, dipake maen PS, beli barang-barang terlampau konsumtif yang ujung-ujungnya “dipeuyeum” di gudang atau lemari. Alhasil, pupus sudah tradisi ngarep angpau tiap lebaran. Sekarang jadi ngarep hidayah supaya jadi orang bertakwa. Aamiin ^^
Sekarang udah mulai merancang targetan tiap Ramadhan, mulai dari menghindari ga sengaja ngomongin orang (ghibah) sampai itikaf di sepuluh hari terakhir (sebenernya masih dipilihin yang ganjilnya doang). Mulai deg-degan kalau targetan masih jauh, bahkan galau kalau ada target yang failed.
Ramadhan memang tamu agung yang sangat ga bisa dan ga pantes buat disebut ‘biasa aja’.
“Ko Ramadhan ini kerasa biasa aja ya?”
Saya paling ga setuju sama statement sejenis itu. Bulan saat semua amal baik dilipatgandakan pahalanya, saat pintu-pintu surga dibuka lebar, saat syetan dari golongan jin dibelenggu, saat acara televisi dan artis-artis ibu kota berusaha untuk jadi lebih islami, saat orang-orang lebih giat saling menasehati dalam kebaikan, saat orang-orang berlomba untuk berinfak; momen kaya gini sangat tidak pantas sekali (hiperbola untuk menegaskan) untuk dibilang ‘biasa aja’.
Ramadhan selalu spesial. SELALU. Atau cobalah untuk membuatnya jadi spesial (karena pada dasarnya kan memang sangat spesial). Kapan kita bisa shaum sebulan penuh serempak dengan seluruh umat muslim di dunia yang ga ada pengecualian secara geografis? Bulan Ramadhan. Kapan saat ibu-ibu, remaja, anak-anak rela ga nonton sinetron demi salat tarawih di mesjid? Bulan Ramadhan. Kapan saat banyak orang ninggalin ‘kenyamanan’ rumah demi bermalam di mesjid, mencari ridha Allah melalui laitatul qadr? Bulan Ramadhan.
Dulu, saya juga pernah berpikir dan mengalami ‘Ramadhan yang biasa-biasa saja’. Tapi akhirnya saya yang berusaha buat jadi luar biasa. Ada yang salah dalam diri saya kalau Ramadhan dianggap biasa. Mungkin raga rajin beribadah, tapi gimana dengan hati? Apa hati juga terlibat dan diikutsertakan di dalamnya? Tanyakan.. tanyakan bukan pada rumput yang bergoyang.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar