Label

Senin, 20 Agustus 2012

"Tamparan" Gadis Kecil "Luar Biasa"

Apa yang paling dinanti saat tiba hari lebaran? Jawabannya pasti beragam. Mulai dari ingin mengulang masa-masa indah Ramadhan, tampil baru dengan baju lebaran, menikmati opor dan ketupat yang telah dibayangkan hari-hari sebelumnya, atau mencicipi satu per satu kue lebaran yang berjejer di meja ruang tamu, ruang utama, bahkan yang masih “bersegel” di dalam lemari harta karun.
Benarkah hanya itu? Ternyata tidak. Ada hal berharga lainnya yang tak boleh absen dalam sejarah per-lebaranan. Silaturahim, berkumpul bersama sanak saudara. Jarak bukan jadi alasan “syar’i” untuk tidak bisa hadir. Istilahnya, lautan pun kan ku sebrangi, gunung kan ku daki, badai kan ku lalui demi bertemu sanak saudara di kampung halaman.
Ada rasa sedih saat kita absen dari pertemuan sakral setahun sekali itu. Semacam melewatkan satu keping kisah bahagia. Kurang lebih itu lah yang saya rasakan saat ini.
Hari lebaran kali ini sungguh berbeda. Tidak ada ziarah ke makam aki dan nenek, pun tidak ada bakar-bakar ikan di halaman rumah bersama aki, oom, dan tante. Sebagai pelampiasan rasa sedih yang semakin membuncah karena putaran “film” kenangan-kenangan di Tasik setiap lebaran, akhirnya saya memutuskan untuk ikut ke panti asuhan bersama tante yang tinggal di Bandung. Semoga tampang lucu nan menggemaskan bocah-bocah polos itu mampu menghapus atau minimal membuat saya lupa temporer masalah dilema “tidak mudik” ini.
Sedikit di luar ekspektasi. Mayoritas adik-adik panti sedang dibawa ke luar, “dipinjam” istilahnya. Dalam interpretasi sok tahu saya, mungkin ada orang-orang dermawan yang ingin berbagi kebahagiaan di hari kemenangan ini. Ya, alhasil saya hanya bertemu beberapa dari mereka.
Hal yang cukup mengejutkan yaitu ketika saya masuk ke sebuah ruangan. Beberapa ranjang tingkat dengan lusinan boneka di setiap ranjangnya membuat saya tak perlu berpikir lagi untuk membuat simpulan bahwa ruangan tersebut kamar perempuan. Sayangnya mereka tidak ada di sana. Jika ada, mungkin suasana kamar tidak akan sesepi ini. Hanya ada boneka-boneka yang tetap setia tersenyum memandangi dinding kamar yang sepi tak bertuan. Ternyata tidak hanya ada mereka di sana. Di balik ranjang paling pojok, ada sesosok adik kecil sedang meringkuk di lantai. Tubuh mungilnya sempurna terhalangi ranjang kayu. Entah apa yang sedang ia lakukan sendiri di sana.
Namanya Kania, begitu kata salah satu teteh pengasuh yang mengantar kami ke kamar itu. “Kania, nama yang cantik”, batin saya. Saya dekati ia hingga mulai terlihat kaki dan badannya. Ia sedang tidur-tiduran di lantai tak beralas apa pun dengan radio menyala di atas kepalanya. Ketika melihat kami, ia langsung bangkit dan merangsek naik ke pangkuan tante tanpa sedikit pun berkata-kata. Seketika itu saya baru sadar bahwa ia bukan anak “biasa”. Kania melihat saya yang duduk di sebelah tante dengan tatapan dari wajah “khas”nya. Ia meronta dan mengulurkan kedua tangannya yang lebih terlihat seperti ingin menampar saya. Saya raih tubuhnya yang sudah tidak kecil lagi, tubuh anak usia sekitar delapan tahunan. Kania memeluk saya begitu erat, semacam merindukan pelukan dari orang-orang terkasih. Haru. Hati ini berdesir dibuatnya. Benarkah pelukan itu begitu mahal bagi Kania di usianya yang masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang? Kania bukan hanya tak tahu siapa ayah-ibunya, pun ia harus menanggung takdir Allah sebagai penderita Down Syndrome yang membuatnya terlihat berbeda dengan anak-anak yang lain. Berat memang ujian gadis kecil ini. Mungkin ia ingin mengadu. Tapi pada siapa? Bahkan “ibunya” harus berbagi cinta dengan puluhan anak-anak lain. Atau ingin mengeluh. Tapi mungkin untuk apa? Tak ada yang tahu, mungkin pelukannya sebagai satu-satunya cara untuk mengungkapkan tumpukan perasaan yang tak tersampaikan, bahkan hanya dengan kata-kata. Sorot matanya mamancarkan bahagia. Ya, saya lihat itu. Kania bahagia saat ada yang peduli untuk sekadar mengunjungi atau “memimjamkan” diri untuk rela ia peluk sepuasnya. Ia pasti mafhum bahwa orang seperti saya hanya akan datang dan pergi, tapi itu tidak mengurangi bahagianya. Bukan bingkisan, pun bukan sekarung boneka. Ia hanya butuh hal “ghaib” bernama kasih sayang. Aaah.. Ya Allah.. Bahagia untuknya begitu sederhana. Maka bahagiakan ia dengan kasih sayang tak terbatas-Mu. Aamiin..
Semacam tamparan bertubi-tubi untuk diri yang masih jauh dari kata baik ini. Seringkali kita khilaf untuk saling memberi atau lalai untuk menunaikan kewajiban.
Fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban
Masihkah berani mengeluh karena gagal mudik dan bertemu keluarga? Padahal kau tahu mungkin liburan depan kau masih sempat mengunjunginya? Sedangkan mereka, adik-adik di panti, bahkan mereka tak tahu siapa yang harus dikunjungi? Satu tamparan untuk masih mengeluh!
Masih bisa kesal kepada ayah-ibu karena proposal pengadaan gadget terbaru atau koleksi sepatu futsal berlogo tiga garis belum juga mendapat isyarat lampu hijau? Sedangkan mereka, ayah-ibu pun tak tahu di mana. Pintanya sederhana, ingin bertemu ayah dan ibu. Dua tamparan untuk hati ayah-ibu yang sering dikecewakan!
Atau masih tega memandang sebelah mata dan merendahkan mereka? Padahal mereka dan kau sendiri tak pernah membuat pinta ingin dilahirkan di keluarga mana dan dari ayah-ibu yang mana. Haruskah ada sombong hingga ia menutupi rasa syukurmu? Tiga tamparan untuk setitik rasa sombong yang belum juga angkat kaki dari hati!
Ya, Allah mempertemukan saya dengan Kania sebagai sarana reminder untuk selalu bersabar dan bersyukur. Pantas saja manusia tidak dibiarkan hidup sendiri dan diciptakan dengan takdir yang sama. Karena ia ada untuk mengingatkan yang lain. Hal-hal berbeda itu ada untuk saling mengisi, bukan sekadar menggenapi.
___________________________________________________________________________________
Lihatlah ke “bawah” untuk kemudian bersyukur dan lihatlah ke “atas” untuk kemudian melecut diri menjadi lebih baik.


1 komentar:

  1. tiiik follback dums http://rizkyrahmany.blogspot.com
    newbie niih :p

    BalasHapus